Oleh: Abdul Kadir Jailani
Prolog
Prolog
Krisis terbesar yang dialami bangsa Indonesia saat ini adalah krisis kepemimpinan. Krisis ini lebih berbahaya daripada krisis pangan dan energi, karena apabila krisis ini menimpa suatu bangsa, maka akan menimbulkan krisis-krisis yang lain. Indikator bangsa ini mengalami krisis kepemimpinan adalah banyaknya pemimpin bangsa yang terlibat kasus korupsi.
Setiawan (2012: 157-158) menyebutkan “menurut hasil survei International Political and Economic Risk Colsultancy yang bermarkas di Hongkong, Indonesia merupakan negara terkorup diantara 12 negara di Asia diikuti India dan Vietnam, Thailand, Malaysia dan Cina berada pada posisi keempat”. Sebagian koruptor ini berasal dari pemimpin yang dipilih rakyat dan sebagian lagi dilakukan oleh pejabat lembaga negara atau pegawai negeri sipil.
Mengapa pemimpin yang terpilih ini melakukan korupsi? Penulis berasumsi, salah satu penyebabnya adalah kesalahan dalam memilih pemimpin. Masyarakat tidak meneliti siapa yang dipilihnya, apakah rekam jejaknya bagus atau tidak.
Dalam memilih pemimpin, seharusnya Al-Qur’an yang menjadi pedoman. Al-Qur’an adalah kitab suci yang sempurna, memuat berbagai petunjuk bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya, termasuk dalam memilih pemimpin. Karena negara ini milik Allah, dan yang paling tahu cara mengaturnya adalah Allah.
Supaya tidak terjadi kesalahan dalam memilih pemimpin, seorang muslim harus berpedoman pada Al-Qur’an. Dengan menggunakan petunjuk Al-Qur’an, Insya Allah, akan ditemukan pemimpin-pemimpin yang berkarakter qur’ani, paling tidak yang mendekati dengan karakter itu.
Tulisan ini akan membahas, tentang hakekat pemimpin menurut Islam. Kemudian dijabarkan bagaimana petunjuk Al-Qur’an dalam memilih pemimpin dengan merujuk pada QS. Al-Qalam ayat 8-13, dengan harapan semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapa saja yang memimpikan pemimpin yang berintegritas dan amanah.
Hakikat Pemimpin Menurut Islam
Pemimpin, dalam Islam dikenal dengan istilah khalifah, imamah, ra’in, dan ulil amri. Kata khalifah memiliki makna ganda. Di satu sisi khalifah diartikan sebagai kepala negara dalam kerajaan Islam dimasa lalu, disisi lain diartikan sebagai wakil Allah dimuka bumi. “Disebut khalifah karena dia akan menggantikan Allah dalam melaksanakan hukum-hukum dan mengaplikasikan perintah rabbany”. (Yusuf, 2008: 28) Pemimpinan secara umum didefinisikan oleh Kartini Kartono dalam Veitzhal Riva’i (2013: 2), sebagai seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan disatu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu atau beberapa tujuan”.
Di dalam Islam, seorang pemimpin harus mengamalkan sifat Rasulallah. Yang pertama: shidiq yaitu jujur dan berintegritas tinggi. Kedua, fathanah: yaitu cerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan professional. Ketiga:amanah, yaitu dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel. Keempat: tabligh, yaitu selalu menyampaikan kebenaran dan komunikatif. (Riva’i, 2013: 22)
Menjadi pemimpin dalam Islam pada dasarnya menjalankan amanah. Di antara amanah yang mesti ditunaikan adalah menyelenggarakan pembangunan spiritual dan kesejahteraan sosial serta menjalankan ketertiban sosial dan keamanan Negara. Dalam konteks keindonesiaan pengamalan amanah tersebut bisa dilaksanakan dengan menjalankan apa yang termaktub dalam konstitusi Negara khususnya pembukaan UUD 1945. (Kemenag RI, 2012: 40)
Sifat kepemimpinan ini, harus dilaksanakan dengan baik oleh seorang pemimpin, karena kelak di akhirat akan diminta pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpin. Sesuai dengan hadits nabi “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya terhadap apa yang dia pimpin (HR. Bukhari Muslim)”. Menjadi pemimpin dalam Islam bukan untuk mencari kekayaan, popularitas, kekuasaan dan kesewenangan. Pemimpin dalam Islam adalah keadilan, keikhlasan dan amanah. Pemimpin yang adil akan menempati posisi yang tinggi disisi Allah, yaitu akan mendapatkan naungan Allah di saat tidak ada naungan selain naungan Allah, seperti yang tersebut didalam hadisnya “Tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah, disaat tidak ada naungan kecuali naungan Allah. Yang pertama; pemimpin yang adil (HR. Bukhari Muslim)”.
Kesimpulannya, pemimpin dalam Islam adalah tanggung jawab dan amanah yang kelak akan ditanyakan oleh Allah. Pemimpin adalah wakil Allah dalam menjalankan hukum-Nya dimuka bumi. Pemimpin yang adil akan mendapatkan posisi yang tinggi disisi Allah dengan mendapatkan naungan Allah di akhirat.
Dalam rangka menemukan pemimpin yang sesuai dengan hakikat kepemimpinan di atas, Allah membimbing kita untuk menemukan petunjuk itu di dalam al-Qur’an, yang didalamnya memuat nilai-nilai kepemimpinan yang relevan dan dibutuhkan oleh pemimpin bangsa saat ini.
Petunjuk Al-Qur’an dalam Memilih Pemimpin
Al-Qur’an sebagai petunjuk manusia, menawarkan beberapa pedoman dalam memilih pemimpin, sebagaimana tercantum dalam QS. al-Qalam ayat 8-13 sebagai berikut;
Ÿxsù ÆìÏÜè? tûüÎ/Éj‹s3ßJø9$# ÇÑÈ (#r–Šur öqs9 ß`Ïdô‰è? šcqãZÏdô‰ãŠsù ÇÒÈ Ÿwur ôìÏÜè? ¨@ä. 7$žxymAûüÎg¨B ÇÊÉÈ :—$£Jyd ¥ä!$¤±¨B 5O‹ÏJoYÎ/ ÇÊÊÈ 8í$¨Z¨B ÎŽöy‚ù=Ïj9 >‰tG÷èãB AOŠÏOr& ÇÊËȤe@çGãã y‰÷èt/ y7Ï9ºsŒ AOŠÏRy— ÇÊÌÈ
8. Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)
9. Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)
10. Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina
11. yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah
12. yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa
13. yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya” (QS. al-Qalam ,8-13)
Sebab Turun Ayat
Gafur (2005: 329-330) mengatakan “Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat diatas. Riwayat pertama menjelaskan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan al-Khannas bin Syuwairiq ( lelaki yang selalu menyebarkan api permusuhan)”. Sedangkan menurut Muhammad Ali Shabuni (2007: 1451) dalam Tafsir al-Wadih al-Muyassar, “Ayat ini turun berkenaan dengan al-Walid bin Mughirah (Abu Jahal), seorang pembangkang, jahat lagi sombong terhadap manusia”.
Beberapa ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat manusia tersebut merupakan kebalikan dari sifat-sifat luhur nabi yang tercantum pada ayat sebelumya, yang artinya “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. al-Qalam; 4).
Salah satu akhlak nabi yang termasuk dalam kategori khuluqin ‘azhim adalah pandai mencari teman dalam bergaul, yakni tidak sembarangan bergaul. Teman bergaul disini tentunya dalam pengertian yang luas. Dalam konteks kepemimpinan, Gafur (2005: 330) menjelaskan bahwa (QS. al-Qalam ,8-13) boleh juga berarti memilih pemimpin. Karena itu, beberapa kriteria orang dalam ayat ini bisa dijadikan pedoman dalam memilih pemimpin. Ayat ini mengingatkan kita supaya jangan memilih pemimpin yang sifatnya tertera didalamnya.
Jika perhatikan lebih dalam, ayat ini sangat relevan dengan konteks kekinian, khususnya dalam konteks memilih pemimpin. Meskipun beberapa ayat tersebut merujuk langsung (khitab) kepada nabi, tatapi juga kepada semua umatnya. Kaidahnya adalah " العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب " , yakni yang dijadikan pertimbangan dalam memahami ayat adalah kata atau kalimat yang general, bukan pristiwa yang khusus. Artinya, walaupun ayat ini tidak langsung membahas masalah kepeimpinan, tetapi jika diambil keumuman lafaznya, bisa juga dijadikan pedoman dalam memilih pemimpin
Petunjuk al-Qur’an dalam Memilih Pemimpin
Sesuai dengan ayat di atas setidaknya ada lima kriteria yang bisa menjadi pedoman dalam memilihpemimpin. Ayat ini akan menjelaskan orang-orang yang tidak boleh kita pilih menjadi pemimpin. Lima kriteria tersebut adalah:
Pertama: al-Mukadzibin, yakni orang yang suka berbohong. Sebagaimana diketahui bahwa berbohongmerupakan salah satu strategi untuk mencapai tujuan. Cara ini biasanya digunakan untuk mencari pengikut yang banyak. Jika dianalisis, dalam ayat ini ada kata تدهن yang asal maknanya berarti minyak, atau meminyakkan. (Zuhaili, 2009/15: 53) Salah satu kegunaan minyak adalah untuk melunakkan. Ali dalam Gafur (2012: 331), menjelaskan bahwa kata تدهن ini mengyindir Abu Jahal yang sering menawarkan macam-macam kompromi dengan Rasulallah. Namun kompromi itu hanya untuk mengelabui Rasulallah saja, agar berhenti melakukan kebenaran atau berhenti mengkritik Nabi.
Fenomena ini terjadi pada para politikus, mereka biasanya berlunak-lunak dengan rakyat atau konstituennya. Mereka memberikan uang atau jasa, tetapi hal itu dilakukan supaya rakyat diam jika suaatu saatmereka melakukan kesalahan. Kenyataan ini sering terjadi, apalagi menjelang pemilu atau pilkada. Para calon pemimpin tertentu membagi-bagikan uang, melakukan transaksi politik dengan rakyat supaya dia dipilih. Ketika sudah terpilih, mereka berkhianat kepada pendukungnya. Karena pendukungnya sudah diberikan uang pelican, mereka tidak berani protes, mereka hanya diam.
Ketika rakyat sudah mulai melakukan transaksi politik uang “money politic”, berearti mereka sudah menggadaikan haknya untuk bersuara jika pemimpin tersebut salah. Oleh karena itu, dalam memilih pemimpin, rakyat harus memperhatikan calon pemimpinnya. Calon pemimpin seperti yang digambarkan pada uraian di atas tidak boleh dipilih, karena biasanya orang yang melakukan politik uang adalah seorang pembohong.
Kedua, Hallafin Mahin, yakni orang yang suka bersumpah dan mengumbar janji. Ayat ini melarang kita untuk taat kepada orang yang biasa bersumpah, dalam kebenaran atau keburukan, karena orang yang sering mengumbar sumpah itu adalah sebagian dari tanda orang yang tidak takut kepada Allah. (al-Maraghi, 1946: Shamela) Orang yang demikian kemungkinan seorang pembohong yang sudah tidak dianggap lagi (hina), karena jika orang sudah dipercaya, maka tidak perlu banyak bersumpah atau berjanji.
Dalam konteks memilih pemimpin, kita tidak boleh memilih pemimpin yang sifatnya seperti di atas. Orang yang banyak bersumpah biasanya tidak percaya diri, sehingga untuk meyakinkan orang lain, harus banyak bersumpah. Para calon pemimpin seperti ini biasanya dijumpai ketika kampanye, mereka biasa bersumpah dan berjanji, tanpa peduli dengan konsekuensi janji dan sumpahnya di hadapan Allah dan manusia.
Janji merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh para calon pemimpin. Karena dengan janji itulah mereka meyakinkan masyarakat untuk memilihnya. Tetapi ketika janji itu dikemas dalam bentuk sumpah apalagi dengan intensitas sering, ini tidak dibolehkan. Sumpah sebenarnya tidak menjadi masalah, tetapi ketika sudah menjadi hallaf, seperti tersebut dalam al-Qalam ayat 10 ini, maka hal ini menjadi tercela. Hallaf adalah bentukmubalaghah dengan wazan fa’aal yang artinya banyak bersumpah. (Zuhaili, 2009/15: 35)
Ketiga; Hammazin masyya’in bi namim, yakni orang yang banyak mencela dan orang yang selalu membawa fitnah. Muhammad Ali Shabuni (2007/3: 324), menafsirkan kata hammaz ini sebagai orang yang sering mengumpat dengan mencemarkan nama baik dan aib seseorang. Sedangkan massya’ berarti menyebarkan berita bohong atau fitnah kepada manusia. Orang yang seperti ini tidak segan-segan mencemarkan nama baik lawan politiknya bahkan memfitnahnya dengan tujuan supaya simpati masyarakat mengarah kepadanya.
Dalam konteks memilih pemimpin, orang seperti ini sering dijumpai. Yaitu mereka yang selalu menjelek-jelekan rival politiknya, bahkan mereka tidak segan-segan memfitnahnya. Ketika kampanye, yang mereka bahas adalah aib-aib lawan politiknya, bukan program-programnya jika mereka terpilih menjadi pemimpin. Calon pemimpin seperti ini tidak layak dipilih, karena mengindikasikan calon pemimpin tersebut berakhlak buruk. Pemimpin yang berakhlak buruk tidak mungkin bisa membawa rakyat kepada kemuliaan dan kemakmuran.
Keempat, Manna’in lil khairi mu’tadin atsim, yakni orang yang selalu berusaha menghalangi orang baik atau terlaksananya kebaikan serta orang yang banyak dosa. Ayat ini menyindir Abu Jahal yang berkata kepada 10 anaknya “Jika salah seorang dari kalian mengikuti agama Muhammad maka tidak akan memberikan manfaat bagimu selama-lamanya”. Abu Jahal mencegah anaknya dalam kebaikan. (Zuhaili, 2009/15: 56)
Dalam memilih pemimpin, harus diteliti siapa yang akan dipilih, bagaimana program dan agendanya, apaplatform partainya. Jangan sampai memilih pemimpin yang programnya tidak mendukung dan mendorong terlaksananya kebaikan bagi bangsa, tetapi sebaliknya pemimpin tersebut mendukung kemungkaran dan kerusakan. Oleh sebab itu, yang harus ditanyakan kepada calon pemimpin adalah “Apakah yang akan mereka perbuat untuk masyarakat jika mereka terpilih?” Bukan “Apakah yang akan mereka berikan kalau mereka mau dipilih?
Kelima, ‘Utullin ba’da dzalika dzanim, yakni orang yang kaku, kasar dan yang terkenal kejahatannya.Maksud ayat ini menurut Al-Maraghi adalah orang yang bergaul dengan manusia lainnya secara kejam dan keras hati (al-Maraghi, 1946: Shamela) serta terkenal dengan kejahatannya. (Zuhaili, 2009/15: 56) Orang yang seperti ini biasanya ketika ditegur dia marah, bangga dengan kedudukan dan kekayaannya, masyarakat memandangnya hina karena kejahatannya, tetapi dengan kekayaan dan pengikutnya dia mengatur semuanya.
Dalam konteks memilih pemimpin, sebaiknya kita menghindari dengan tidak memilih pemimpin yang keras hati dan yang sudah terkenal kejahatannya. Alasannya adalah karena orang yang keras hati biasanya egois. Sifat egois tidak sesuai dengan kepemimpinan nabi yang lembut seperti disebutkan dalam QS. al-Imran 159.Masyarakat tidak nyaman dipimpin oleh orang yang egois dan kasar.
Selain itu, orang yang sudah terkenal kejahatannya (memiliki kasus hukum) jangan dipilih menjadi pemimpin. Orang yang jahat tidak cocok menjadi pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki kualitas yang lebih tinggi dari yang dipimpinnya. Hakikat pemimpin adalah teladan bagi yang dipimpin. Ketika ada pemimpin memiliki watak jahat, bagaimana masyarakat akan meneladaninya, bahkan yang timbul adalah pemberontakan dari masyarakat.
Inilah beberapa petunjuk Al-Qur’an yang dapat menjadi pedoman dalam memilih pemimpin. Dengan harapan akan ditemukan pemimpin-pemimpin yang berakhlak al-Qur’an. Jika tidak bisa memenuhi dan seideal al-Qur’an paling tidak yang mendekati akhlak al-Qur’an.
Kesimpulan
Hakikat pemimpin dalam Islam adalah tanggung jawab dan amanah yang kelak akan ditanyakan oleh Allah. Dalam rangka menemukan pemimpin yang sesuai dengan hakikat kepemimpinan ini, Allah membimbing kita untuk menemukan petunjuk itu di dalam al-Qur’an. Petunjuk Al-Qur’an dalam memilih pemimpin, tercantum dalam QS. al-Qalam ayat 8-13 sebagai berikut; (1) Jangan memilih pemimpin yang biasa berbohong, (2) Jangan memilih pemimpin yang sering bersumpah dan berjanji, (3) Jangan memilih pemimpin yang sering mengumpat dan memfitnah, (4) Jangan memilih pemimpin yang program dan agendanya tidak mendukung kebaikan dan kemaslahatan umat, (5) Jangan memilih pemimpin yang memiliki watak keras hati, egois, kejam dan terkenal dengan kejahatannya (kasus hukumnya).
Dengan memperhatikan kriteria diatas diharapkan akan ditemukan pemimpin yang amanah dan sesuai dengan hakikat pemimpin dalam Islam, sehingga rakyat akan menikmati kemakmuran, kesejahteraan dan keamanan, menuju baldatun toyyibatun warobbun gofur.
0 Response to "Memilih Pemimpin Menurut Syariat Islam"
Post a Comment